Sebagai seorang travel blogger, saya selalu mencari pengalaman unik dan autentik di setiap perjalanan saya. Undangan dari Kang Jajat, salah satu pengurus Kampung Adat Cireundeu di Cimahi, untuk mengikuti "Jurit Wengi" menjadi kesempatan yang tidak mungkin saya lewatkan. Acara ini diadakan pada malam 17 Agustus, sebuah malam sakral yang penuh makna bagi masyarakat adat di sana.
Kampung Adat Cireundeu terletak di Cimahi, Jawa Barat, dan terkenal sebagai salah satu kampung adat yang tetap memegang teguh tradisi leluhurnya. Masyarakat di sini memiliki kebiasaan unik yakni tidak mengkonsumsi nasi/beras, akan menggantinya dengan mengolah singkong menjadi rasi (nasi dari singkong) sebagai makanan pokok. Dengan keunikan ini, Cireundeu menjadi destinasi yang sangat menarik bagi para pencinta budaya.
Namun, daya tarik Kampung Cireundeu tidak hanya terletak pada pola hidup mereka. Ritual "Jurit Wengi," yang berarti perjalanan malam, menjadi salah satu acara istimewa yang penuh dengan nilai sejarah, kebangsaan, dan spiritualitas.
Memulai Perjalanan ke Puncak Salam Ritual Tanpa Alas Kaki
Malam itu, suasana di Kampung Adat Cireundeu terasa berbeda. Saya bersama puluhan peserta lainnya berkumpul di kaki Puncak Salam. Sebelum memulai pendakian, Kang Jajat memberi penjelasan singkat tentang aturan adat yang harus kami patuhi: mendaki tanpa alas kaki. Larangan ini bukan hanya simbol penghormatan terhadap alam, tetapi juga cara untuk merasakan langsung keintiman dengan bumi, sebuah refleksi akan rasa syukur dan kerendahan hati.
Rasa dingin tanah dan kerikil kecil yang menusuk telapak kaki justru menambah kesyahduan perjalanan. Sepanjang pendakian, kami ditemani alunan tarawangsa, alat musik tradisional Sunda yang dimainkan dengan irama mendayu-dayu. Alunan ini memberikan nuansa magis yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Di setiap langkah, saya merasa seperti dibawa ke masa lalu, menyelami nilai-nilai kebersamaan dan spiritualitas masyarakat adat.
Setelah sekitar satu jam mendaki, kami tiba di Puncak Salam. Angin malam menyambut kami, membawa udara segar khas pegunungan. Di puncak, sebuah api unggun besar menyala, menjadi pusat perhatian semua peserta. Kami duduk melingkar, berbagi cerita sambil menikmati hidangan sederhana berupa umbi-umbian rebus.
Makan malam ini terasa sangat istimewa. Sederhana, namun penuh makna. Kang Jajat menjelaskan bahwa umbi-umbian rebus melambangkan kesederhanaan dan kearifan lokal, mengingatkan kami untuk selalu bersyukur atas hasil bumi yang diberikan alam.
"Jurit Wengi" bukan sekadar perjalanan malam biasa. Ritual ini telah dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu sebagai bentuk penghormatan kepada para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Pada masa perjuangan, Puncak Salam menjadi tempat strategis untuk menyusun strategi dan mengawasi pergerakan musuh.
Dengan mengikuti "Jurit Wengi," masyarakat adat tidak hanya mengenang sejarah, tetapi juga menanamkan semangat perjuangan kepada generasi muda. Ritual ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari kerja keras, pengorbanan, dan persatuan.
Ritual dimulai dengan doa bersama, dipimpin oleh sesepuh adat. Setelah itu, seluruh peserta berkumpul mengelilingi api unggun, sambil bercengkrama dengan menikmati sajian yang disediakan. Prosesi ini diiringi dengan alunan tarawangsa dan kidung-kidung tradisional yang menceritakan perjuangan leluhur. Malam itu, saya merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar. Setiap langkah terasa sarat makna, seolah menghubungkan saya dengan para leluhur yang pernah berjuang demi negeri ini.
Upacara 17 Agustus di Puncak Salam yang Membakar Jiwa Nasionalisme
Keesokan paginya, kami berkumpul kembali untuk mengikuti upacara pengibaran bendera. Dengan latar belakang matahari terbit dan hamparan hijau pegunungan, momen ini menjadi salah satu pengalaman paling mengharukan dalam hidup saya. Kami menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dengan penuh semangat, disertai rasa haru yang sulit dijelaskan.
Melihat Sang Merah Putih berkibar di atas Puncak Salam, saya merasakan kebanggaan sebagai anak bangsa. Jiwa nasionalisme saya seolah terbakar, menyadari betapa berharganya kemerdekaan yang kita miliki. Tidak ada gemuruh kendaraan atau suara bising kota, hanya keheningan alam yang menguatkan makna upacara tersebut.
Mengikuti "Jurit Wengi" di Puncak Salam Kampung Adat Cireundeu bukan sekadar pengalaman wisata, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mengajarkan banyak hal. Saya belajar tentang kesederhanaan, rasa syukur, dan semangat kebangsaan. Ritual ini tidak hanya menjadi cara masyarakat adat untuk menjaga tradisi, tetapi juga sebuah pengingat bagi kita semua untuk terus menghargai perjuangan para pahlawan.
Sebagai seorang travel blogger, saya merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari momen ini. "Jurit Wengi" adalah bukti bahwa Indonesia kaya akan tradisi yang tidak hanya indah, tetapi juga sarat makna. Jika Anda mencari pengalaman yang autentik dan penuh inspirasi, saya sangat merekomendasikan untuk mengunjungi Kampung Adat Cireundeu dan mengikuti ritual ini.
Dengan berbagi cerita ini, saya berharap lebih banyak orang bisa mengenal dan menghargai tradisi luar biasa ini. Mari kita lestarikan budaya Indonesia, karena di sanalah identitas kita sebagai bangsa yang beragam dan kaya akan warisan leluhur.
0 Komentar