Ramadan tahun ini terasa begitu berbeda. Bukan hanya karena suasananya yang baru, tetapi juga karena ada bagian dari hidup saya yang kini tak lagi sama. Rumah kontrakan baru, tempat kerja baru, dan yang paling berat, kehilangan dua orang tercinta dalam waktu yang berdekatan—Diaz, anak laki-laki saya yang berpulang tahun lalu, dan Mamah yang menyusulnya hanya selang satu bulan kemudian.
Setiap memasuki bulan suci Ramadan, ada rasa haru yang selalu menyelinap di hati. Ramadan bukan sekadar bulan penuh berkah, tapi juga bulan penuh kenangan. Dulu, ketika masih kecil, Ramadan selalu datang dengan keceriaan yang sulit dilupakan. Saya masih ingat bagaimana saya dan teman-teman menghabiskan waktu ngabuburit dengan mencari belut di sawah. Rasanya seperti petualangan kecil yang selalu kami nantikan. Kadang, kami juga bermain sepeda keliling kampung atau bermain lodong di atas bukit, suara ledakannya menjadi simbol kegembiraan khas anak-anak.
Malam Ramadan pun punya cerita sendiri. Sholat tarawih di masjid bukan hanya soal ibadah, tapi juga jadi ajang seru-seruan. Bayangkan, setelah tarawih, bisa pulang bareng gebetan! Bagi anak seusia saya waktu itu, momen itu lebih mendebarkan daripada menunggu waktu berbuka. Ramadan benar-benar penuh warna.
Lebaran? Ah, jangan ditanya! Ketika masih kecil, lebaran selalu identik dengan baju baru. Rasanya belum lengkap kalau belum dibelikan baju lebaran oleh orangtua. Dan sekarang, sebagai orangtua, saya pun ingin memberikan kebahagiaan yang sama kepada anak-anak saya. Bukan sekadar soal baju baru, tapi tentang menghadirkan momen yang akan mereka kenang seumur hidup.
Namun, Ramadan kali ini datang dengan perasaan yang berbeda. Tidak ada lagi suara riang Diaz di rumah, tidak ada lagi kehangatan Mamah yang selalu sibuk menyiapkan makanan berbuka. Ada ruang kosong yang sulit diisi. Saat sahur atau berbuka, rasanya ada yang kurang. Ketika duduk di ruang makan, sering kali saya menatap kursi kosong yang seharusnya mereka duduki. Kenangan mereka masih begitu nyata, seolah-olah mereka masih di sini.
Tapi, saya tahu hidup harus terus berjalan. Ramadan tahun ini, saya punya satu harapan besar: bisa khatam Al-Qur’an. Seingat saya, terakhir kali saya khatam itu saat masih SMA, hampir 25 tahun yang lalu. Bagi sebagian orang, mungkin ini bukan hal yang luar biasa, tapi bagi saya, ini adalah pencapaian yang sangat berarti. Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang mendekatkan diri kepada Allah. Saya ingin Ramadan kali ini menjadi lebih bermakna, menjadi momen untuk memperbaiki diri dan memperbanyak ibadah.
Tidak ada yang tahu apakah kita masih diberi kesempatan untuk bertemu Ramadan tahun depan. Karena itulah, saya ingin menjalani Ramadan ini dengan sebaik-baiknya. Semoga Allah memberikan umur panjang, kesehatan, dan kekuatan untuk terus beribadah.
Mungkin itulah yang membuat Ramadan kali ini terasa begitu istimewa. Meski ada kehilangan, ada juga harapan. Meski ada kesedihan, ada juga doa-doa yang terus terpanjat. Ramadan bukan hanya tentang masa lalu dan kenangan, tetapi juga tentang langkah-langkah kecil menuju masa depan yang lebih baik.
Semoga kita semua diberikan kesempatan untuk kembali merasakan kehangatan Ramadan di tahun-tahun yang akan datang. Wassalam.
0 Komentar